dakwatuna.com – Bangsa kita punya sejarah yang jelas, dari asal usul budayanya yang beraneka ragam, bahasanya yang banyak, tertulis dan dipahami oleh seluruh rakyatnya, namun hari Valentine tidak tercatat dan tidak pernah dijadikan kebanggaan oleh bangsa Indonesia. Tapi kenapa, di mata anak-anak muda Indonesia memiliki budaya Valentine’s Day generasi yang akan menjadi pengganti kepemimpinan masa depan bangsa itu menjadikan hari valentine sebagai hari kasih-sayang, di mana mereka saling memberikan ucapan selamat, saling mengungkapkan rasa cinta, romantika dan segala ketulusan. Di samping itu berbagai macam arti hari valentine di kalangan remaja, ada di antara mereka yang memberikan arti hari valentine adalah hari berbagi bung, berbagi cinta dan kasih saying, berbagi coklat, dengan gaya dan berbagai acara yang mereka buat.
Akibat ketidak tahu pemda yang akan menjadi agent of changes tentang sejarah dan latar belakang dari hari valentine berakibat terbuai dengan kegiatan fatamorgana tersebut, padahal jika kita mengulas lagi tentang rendahnya budaya sampah yaitu valentine day dari barat ini, akan membuka dan menguak pelanggaran nilai-nilai moral, agama, dan budaya bangsa kita. Mereka mungkin akan merasa muak bahkan muntah dan jijik karena budaya dan kegiatan ini tidak layak sama sekali untuk dirayakan oleh para pengganti pemimpin bangsa yaitu anak-anak muda Indonesia.
Menengok lagi sejarah hari valentine day, sejarah ini bisa kita dapatkan di media dan berbagai sumber, yang bisa dijadikan rujukan untuk supaya generasi kita paham dan mengerti dengan sejarah hari valentine ini yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan bangsa kita, justru dengan perayaan hari valentine ini melecehkan dan merendahkan nilai-nilai moral 4 pilar bangsa Indonesia bahkan melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) pelanggaran ini sudah begitu jelas di mata masyarakat, dalam hal ini pemerintah dan masyarakat harus melakukan pengontrolan dan perbaikan terhadap masyarakat terutama generasi pengganti bangsa ini.
Dalam sejarahnya, menyebutkan kisah Pendeta St. Valentine yang hidup di akhir abad ke 3 M di zaman Raja Romawi Claudius II. Pada tanggal 14 Februari 270 M Claudius II menghukum mati St. Valentine yang telah menentang beberapa perintahnya, kematian pendeta valentine adalah sebagai rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama –nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan, kemudian pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan serigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.
Kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St. Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat: The Encyclopedia Britannica, Vol.12 hal. 242, The World Book Encyclopedia, 1998).
Sesuai perkembangan, siasat pemimpin gereja katolik itu nampaknya berhasil dengan sukses. Dengan diadakannya upacara kasih sayang tersebut jadi semacam rutinitas ritual yang bagi mereka akan terus dirayakan oleh orang-orang Kristiani, strategi mereka untuk mendapatkan kesan bahwa itu adalah kegiatan yang harus dijalankan, mereka membungkusnya melalui hiburan-hiburan atau pesta-pesta yang pada saat itu nampaknya sudah amat sangat memprihatinkan. Karena dengan cara tersebut, banyak remaja-remaja yang terjebak pada pola perayaan awal hari kasih sayang. Seperti melakukan hubungan seks sesuka hatinya. Gonta-ganti pasangan semaunya. Semua yang mereka lakukan itu sebenarnya bukan lagi didasari oleh kasih sayang, akan tetapi hawa nafsu belaka
Melihat pelanggaran nilai-nilai moral dan nilai social budaya bangsa oleh kegiatan hari valentine ini sudah seharusnya pemerintah tegas memberikan perlindungan dalam bentuk penyadaran dan informasi terkait masalah-masalah pelanggaran yang dilakukan oleh calon penerus bangsa ini, demikian juga masyarakat harus memberikan peran yang besar terhadap kebobrokan moral generasi yang semakin brutal dan tidak terkendali ini.
Sudah sangat jelas bahwa budaya ini adalah budaya sampah dari barat yang tidak ada sejarahnya di Indonesia dan sangat tidak tepat dilakukan di Indonesia, karena justru banyak pelanggaran yang di dalamnya dilakukan oleh anak-anak muda kita, dengan berbagai acara yang dilakukan justru yang Nampak dan terjadi kerusakan moral.
Gaya hidup yang berlebihan dan yang tidak punya nilai, akan merusak moral generasi kita, akan memberikan dampak buruk, seperti pergaulan bebas, akan terjadi AIDS/HIV, Narkoba, Hamil di luar nikah, karena menurut data bahkan di tingkat remaja kerusakan moral memiliki jumlah sangat besar diakibatkan oleh pergaulan bebas yang salah satunya diawali dengan kegiatan valentine ini, dengan berbagi bunga dan coklat kemudian mereka melakukan hal-hal yang jauh dari nilai pilar-pilar kebangsaan kita.
Sebagai generasi calon pemimpin bangsa yang intelek dan bermoral, kita harus bisa memilih dan memilah kegiatan apa yang harus dan perlu dibudayakan di kalangan anak-anak bangsa, tidak kemudian harus ikut-ikutan terhadap kegiatan-kegiatan dan program serta budaya dari barat yang akan justru merusak bangsa kita. Menjadi sebuah tanggung jawab anak-anak bangsa juga untuk ikut terlibat dalam menjaga moral bangsa yang benar. Sehingga tidak terjadi kegiatan-kegiatan yang kemudian akan merusak moral calon penerus bangsa.
Hari Valentine ini sudah mampu merusak moral anak bangsa, menghilangkan sekat antara pergaulan yang seharusnya menjaga diri dari pergaulan bebas, karena sudah jelas pergaulan bebas bisa merusak nilai-nilai agama, nilai moral bangsa, yang kemudian hal ini kehilangan masa depannya. Tentu sangat disayangkan jika pemerintah tidak ikut campur dalam memberikan pemahaman, dan membuat kebijakan terkait terhadap moral generasi bangsa. Di samping itu juga masyarakat harus memberikan peran besar terhadap pergaulan yang melanggar nilai – nilai social masyarakat, orang tua juga tidak kalah penting untuk memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap pergaulan bebas ini, dengan salah satu program pergaulan bebas yang tidak memiliki sekat adalah merayakan hari valentine.
Kurangnya perhatian pemerintah, mengakibatkan pemuda generasi kita tidak mampu mengendalikan diri dalam memfilter dan melawan trend/gaya barat, mereka tidak yakin dengan budaya Indonesia yang mulia sehingga ia merayakan dan meyakini bahwa kegiatan hari valentine ini jika tidak diikuti maka mereka dianggap ketinggalan zaman. Di sisi lain juga kurangnya peran keluarga orang tua untuk mendidik anaknya tentang aqidah, sejarah dan budaya yang sesungguhnya, sehingga mereka lemah jiwanya dalam memahami agama Islam, akibatnya mereka tidak mampu men-sharing budaya yang datang melabrak-labrak. Di samping itu juga perlu menjadi catatan penting bagi pemerintah dan kita semua bahwa pemerintah kita ini tidak tegas terhadap budaya-budaya sampah yang masuk ke Indonesia, terlalu bebas dan kebablasan, akibatnya anak-anak muda kita merasa kehilangan idola, kehilangan identitas, yang mengakibatkan mereka mencari mencari identitas lain sebagai pemuas keinginan yang semu.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/02/18637/valentines-day-melanggar-nilai-nilai-luhur-4-pilar-bangsa-indonesia/#ixzz1mK12fUFw
0 komentar:
Posting Komentar